BAB II
Pembahasan
A. Selayang Pandang
Banyak ahli
teori evolusi percaya bahwa peneliti pertama yang menemukan mata rantai yang
hilang (missing link) dari teori evolusi manusia adalah Eugene Dubois,
seorang dokter berkebangsaan Belanda. Ia berangkat dari negeri kincir angin
untuk membuktikan asumsi ini: bahwa mata rantai yang menghubungkan evolusi dari
primata menjadi manusia modern terdapat di kawasan tropis, sebab diperkirakan
“manusia pengantara†ini sudah tidak memiliki bulu seperti nenek moyang
sebelumnya.
Dubois
berangkat menggunakan kapal SS Prinses Amalia menuju Sumatra, tepatnya ke
daerah Payakumbuh, Sumatra Barat. Di tempat ini ia melakukan penggalian di
pegunungan dan gua-gua kapur di sepanjang Payakumbuh. Hasilnya ternyata
mengecewakan. Fosil-fosil manusia yang ia temukan terlalu muda, sehingga tidak
sesuai dengan harapannya. Setelah menerima informasi bahwa di Jawa ditemukan
fosil manusia wajak (Homo wajakensis), Dubois akhirnya memindahkan proyek
penggaliannya ke tanah Jawa, mengikuti alur sungai Bengawan Solo. Pada sebuah
lekukan sungai, di daerah yang disebut Trinil, Ngawi, Jawa Timur, ia menemukan
berbagai fosil hewan purba. Tak hanya itu, di tempat ini ia berhasil menemukan
gigi dan atap tengkorak yang menyerupai kera .
Setahun
kemudian, 15 meter dari tempat penemuan pertama, ia menemukan tulang paha kiri
yang seusia dengan fosil sebelumnya, tetapi mirip dengan tulang paha manusia
modern. Ini artinya, manusia purba tersebut telah berjalan tegak. Oleh sebab
itu, Dubois kemudian menamakan fosil temuannya sebagai Pithecanthropus erectus,
alias manusia kera berjalan tegak. Banyak ahli percaya bahwa temuan Dubois ini
adalah missing link yang selama ini dicari untuk membuktikan kesahihan
teori evolusi. Sebab Pithecanthropus erectus seolah mewakili proses evolusi
dari primata menjadi manusia, ini misalnya terlihat dari volume otak 900 cc
yang berada antara kapasitas manusia dan kera, serta tulang paha yang
menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak (Harry Widianto dalam http://m.kompas.com).
Sejak penemuan
Pithecanthropus erectus itu, daerah Trinil kemudian mendunia. Masyarakat dunia
serta merta mengenal titik kecil di tengah Pulau Jawa itu sebagai salah satu
tempat penemuan penting dalam perkembangan teori evolusi, ilmu antropologi,
paleoantropologi, serta arkeologi. Penelitian Dubois sendiri berlangsung antara
1891-1895. Tempat penemuan fosil Pithecanthropus erectus telah ditandai dengan
sebuah monumen yang dibangun oleh Dubois pada tahun 1895.
Namun, lokasi
penelitian Dubois ini seolah hanya menjadi lahan penelitian. Artinya
fosil-fosil yang dikenal masyarakat internasional tidak lagi berada di Trinil,
melainkan di Belanda dan Jerman. Masyarakat setempat yang menemukan fosil-fosil
manusia maupun hewan purba juga cenderung menjualnya kepada pihak swasta.
Kondisi ini cukup memprihatinkan. Namun, untunglah salah seorang warga bernama
Wirodihardjo memiliki kepedulian dengan mengoleksi fosil dan benda-benda
purbakala yang ditemukan oleh masyarakat setempat. Dengan telaten ia mengganti
fosil-fosil yang ditemukan warga dengan uang atau bahan-bahan kebutuhan pokok,
sehingga warga dengan rela menyerahkan temuannya. Sebab itulah, Wirodihardjo
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Wiro Balung (balung = tulang). Nama
ini disematkan oleh masyarakat setempat karena ia dikenal sebagai pengumpul
tulang-tulang (fosil)
Dari hari ke
hari, koleksi “tulang-belulang†yang dikumpulkan Wirodihardjo kian
bertambah. Fosil-fosil tersebut umumnya ditemukan warga atau oleh Wirodihardjo
sendiri di tiga desa di kawasan Trinil, yakni Desa Kawu, Desa Gemarang, dan
Desa Ngancar. Melihat potensi besar tersebut, pemerintah daerah akhirnya
membangun sebuah museum untuk menampung koleksi fosil-fosil yang dikumpulkan
Wirodihardjo. Pada tahun 1980-1981, bangunan museum telah selesai dibangun.
Namun, peresmiannya baru dilakukan pada 20 November 1991 oleh Gubernur Jawa
Timur, Soelarso. Sayangnya, ketika museum tersebut diresmikan, Wirodihardjo
telah meninggal setahun sebelumnya, yakni pada 1 April 1990 .
Lokasi museum
ini mengambil tempat di bekas lahan ekskavasi yang dilakukan oleh Dubois, tepatnya
di dekat monumen yang dibangun oleh Dubois. Selain untuk mengenalkan kehidupan
manusia, flora dan fauna purba, serta ekosistemnya, museum ini juga bertujuan
untuk mengingatkan pada dunia bahwa di titik kecil di pulau jawa inilah
ditemukan fosil yang dianggap menjawab misteri mengenai mata rantai yang hilang
(missing link) dari proses evolusi manusia.
B. Keistimewaan
Anda mungkin
masih ingat pelajaran sejarah purbakala ketika duduk di bangku sekolah dasar
atau sekolah menengah, bahwa Indonesia merupakan salah satu lokasi penemuan
penting yang mengungkap misteri kehidupan manusia purba. Adalah Eugene Dubois
yang banyak dihafal oleh murid-murid sebagai penemu manusia Jawa atau
Pithecanthropus erectus. Dan Trinil, di Kabupaten Ngawi, merupakan salah satu
lokasi penemuan Pithecanthropus erectus yang kerap kali ditanyakan dalam
lembar-lembar ujian sejarah purbakala. Dengan mengunjungi museum ini, Anda akan
diingatkan kembali pada pelajaran-pelajaran sejarah purbakala tersebut. Tetapi
bukan dengan menghafal di awang-awang, melainkan Anda akan membuktikannya
dengan melihat sendiri seperti apa bentuk-bentuk fosil purba tersebut.
Museum ini
terletak di bantaran Sungai Bengawan Solo. Hal ini mengingatkan para pelancong
bahwa di sekitar bantaran sungai inilah dahulu manusia purba tinggal dan
membangun kebudayaannya. Museum Trinil memang menjadi salah satu obyek wisata
sejarah yang penting, baik bagi wisatawan biasa maupun pelajar atau peneliti.
Keberadaan museum ini telah memberikan sarana bagi mereka yang ingin mengetahui
kehidupan manusia purba, ekosistemnya, serta flora dan fauna yang hidup pada
jaman tersebut. Kawasan Trinil merupakan salah satu kawasan yang menjadi
penemuan fosil-fosil dari masa pliosen, sekitar 1,5 juta tahun yang
lalu, hingga zaman pleistosen berakhir, yaitu sekitar 10.000 tahun
sebelum masehi
Menginjakkan kaki di halaman museum, wisatawan akan
disambut oleh gapura museum dengan latar belakang patung gajah purba. Patung
gajah ini cukup besar untuk ukuran gajah sekarang, dengan gading yang sangat
panjang, dan anatominya lebih mirip Mammoth tetapi tanpa bulu. Selain patung
gajah, di halaman museum juga terdapat monumen penemuan Pithecanthropus erectus
yang dibuat oleh Dubois. Pada monumen tersebut tertulis: “P.e. 175m (gambar
anak panah), 1891/95″. Maksud dari tulisan tersebut adalah, Pithecanthropus
erectus (P.e.) ditemukan sekitar 175 meter dari monumen itu, mengikuti arah
tanda panah, pada ekskavasi yang dilakukan dari tahun 1891 hingga 1895.
Setelah cukup menikmati patung gajah dan monumen
tersebut, wisatawan dapat menimba informasi lebih jauh dengan melihat koleksi
museum yang berjumlah sekitar 1.200 fosil yang terdiri dari 130 jenis. Museum
Trinil memamerkan beberapa replika fosil manusia purba, di antaranya replika
Phitecantropus Erectus yang ditemukan di Karang Tengah (Ngawi), Phitecantropus
Erectus yang ditemukan di Trinil (Ngawi), serta fosil-fosil yang berasal dari
Afrika dan Jerman, yakni Australopithecus Afrinacus dan Homo Neanderthalensis.
Kendati hanya berupa replika, namun fosil tersebut dibuat mendekati bentuk
aslinya. Sementara fosil-fosil yang asli disimpan di beberapa museum di Belanda
dan Jerman.
Selain fosil manusia, museum ini juga memamerkan fosil
tulang rahang bawah macan (Felis Tigris), fosil gigi geraham atas gajah
(Stegodon Trigonocephalus), fosil tanduk kerbau (Bubalus Palaeokerabau), fosil
tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus), serta fosil gading gajah purba
(Stegodon Trigonocephalus). Fosil-fosil hewan ini umumnya lebih besar dan
panjang daripada ukuran hewan sekarang. Misalnya saja fosil gading gajah purba
yang panjangnya mencapai 3,15 meter, bandingkan dengan gajah sekarang yang
panjang gadingnya tak lebih dari 1,5 meter.
C. Lokasi
Museum
Purbakala Trinil terletak di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar,
Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
D. Akses
Museum Purbakala
Trinil berada sekitar 5 kilometer arah utara dari jalan raya Solo-Surabaya.
Dari Kota Ngawi, museum ini terletak sekitar 13 kilometer arah barat daya.
Untuk menuju museum ini, dari Kota Ngawi wisatawan dapat menggunakan jasa bus
umum arah Solo. Wisatawan turun di gapura besar yang menjadi penanda menuju
Museum Trinil. Dari gapura tersebut, wisatawan dapat mencarter ojek untuk
sampai ke museum dengan menempuh jarak sekitar 5 kilometer. Apabila menggunakan
kendaraan pribadi dari Kota Ngawi, wisatawan sebaiknya bertanya arah yang tepat
menuju museum, sebab papan penunjuk menuju museum ini masih sangat minim.
E. Harga Tiket
Harga tiket
untuk memasuki Museum Trinil adalah Rp.1000,00 untuk anak-anak dan Rp2.000,00
untuk orang dewasa. Tiket ini dibayarkan di pos penjaga yang terdapat di luar
museum. Apabila menggunakan kendaraan pribadi, Anda dikenai biaya parkir, yaitu
Rp500,00 untuk motor dan Rp1.000,00 untuk mobil.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Museum
Purbakala Trinil telah dilengkapi berbagai fasilitas, seperti lahan parkir yang
cukup luas, pendopo atau ruang pertemuan, kantor layanan informasi, tempat
istirahat bagi tamu atau peneliti yang ingin tinggal selama beberapa hari,
mushola, serta toilet. Selain berbagai fasilitas tersebut, wisatawan yang ingin
beristirahat usai mengunjungi museum bisa rehat sejenak dengan duduk-duduk di
taman yang dilengkapi dengan sarana bermain anak. Taman ini telertak di sebelah
utara museum. Taman bermain anak tersebut menyediakan berbagai sarana permainan
anak, seperti ayunan, papan seluncur, serta jungkat-jungkit. Selain dihiasi
oleh bunga-bunga, taman ini juga diperindah dengan patung-patung hewan yang
merupakan rekonstruksi dari bentuk-bentuk hewan purba.
Bagi Anda yang ingin melihat langsung aliran
Bengawan Solo dapat duduk-duduk di kursi panjang yang menghadap sungai yang
terkenal berkat lagu keroncong ciptaan Gesang ini. Sungai ini memanjang persis
di sebelah museum dengan dilingkupi rerimbunan pohon yang menyejukkan suasana.
Apabila merasa lapar, para pelancong dapat memesan makanan seperti tempe lodeh
plus telur dadar dengan harga yang sangat terjangkau di warung-warung makan di
depan museum.